Beberapa waktu yang lalu, saya harus menelan getirnya
kegagalan di jalur SNMPTN. Saya hanya mendapat kesempatan sekali seumur hidup
untuk berhasil atau gagal melalui jalur ini, namun takdir mengharuskan saya
gagal saat itu. Saya tidak terlahir sebagai seseorang yang ambisius dan
berorientasi pada bidang akademik. Hal ini sangat membantu ketika saya mengalami kegagalan seperti ini. Tapi,
kegagalan menjadi luka bukan karena seseorang yang mengalaminya adalah
ambisius. Bukan. Kegagalan akan menjadi luka yang sulit diobati ketika orang-orang
yang disayangi pun harus merasakan kegagalan. Tak tergambarkan hancurnya hati
saya melihat Ayah dan Ibu berusaha menghibur dan menyemangati saya, sedang
kekecewaan tak dapat disembunyikan dari wajah teduh keduanya.
Beruntung, saya bukan tipe orang yang memikirkan
kegagalan hingga berlarut-larut. Bagi saya, kegagalan hanya akan tetap menjadi
kegagalan jika kita tak berusaha mengubahnya menjadi sebuah kesuksesan. Saya
memberi waktu sehari kepada diri saya untuk menerima kegagalan dan belajar
mengikhlaskannya.
Keesokan harinya, saya mulai merancang strategi untuk
berhasil di jalur-jalur akhir menjadi mahasiswi PTN tahun ini. Saya mengejar
ketertinggalan di lebih dari satu tempat bimbingan belajar, mengikuti beberapa
program intensif. Hampir setiap hari, sejak teriknya mentari hingga gelap dan dinginnya malam menyapa, saya
memforsir tubuh dan pikiran. Setiap kali saya mulai merasa lelah, saya
mengingat kembali ekspresi Ayah dan Ibu beberapa waktu lalu sehingga semangat
belajar saya pun melesat luar biasa. Beberapa waktu, saya menghilangkan jenuh
dengan berdiskusi bersama kakak-kakak kelas saya tentang bagaimana perjuangan
mereka dulu ketika berada di posisi saya. Saya pun menyadari bahwa ikhtiar saya
masih belum maksimal seperti mereka.
Selama proses itulah saya menemukan begitu banyak ibroh
dari kegagalan saya. Melalui kegagalan, Allah memberikan saya banyak kesempatan
yang mungkin akan terlewatkan begitu saja ketika saya secara cuma-cuma diberikan
keberhasilan. Melalui kegagalan, saya bertemu dengan banyak sahabat-sahabat
baru, guru-guru yang sangat menginspirasi dan kesempatan merasakan semangat
belajar yang luar biasa. Saya pun akhirnya mensyukuri kegagalan saya. Saya
tumbuh menjadi seorang manusia yang menikmati kegagalannya, menikmati skenario
Allah untuk perjalanan hidup saya.
Hari ujian (SBMPTN) yang ditunggu akhirnya tiba. Saya
sangat yakin bisa lolos seleksi ini, minimal di pilihan terakhir. Nervous.
Allah kembali menguji pada titik terlemah saya. "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan
dibiarkan mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka belum diuji?" (QS Al-Ankabut:2). Ketika saya mulai mengisi identitas di lembar jawaban,
alarm dari handphone saya berbunyi di dalam tas yang sudah saya simpan di depan
ruang ujian. Saya segera mematikannya. Beberapa detik setelah saya duduk
kembali, salah satu pengawas menghampiri saya. Saya diminta untuk menandatangani
berita acara. Alhasil, selama ujian saya tidak bisa fokus dan kehilangan
konsentrasi. Seingat saya, kalau nama sudah tertera di berita acara, maka
sejurus kemudian habis sudah harapan untuk lolos ujian. Gagal sebelum berperang
karena sebuah halangan yang seharusnya tidak menjadi halangan. Terbayang
kembali wajah kecewa Ayah dan Ibu. Terbayang pula aktivitas ketika harus ‘menganggur’ selama
setahun kemudian beserta komentar keluarga dan sahabat mengenai kegagalan saya
yang terulang kembali. Saya kalut dan tak sanggup mengatur emosi. Mata perih
dan akhirnya menghasilkan beberapa bulir air mata kekecewaan. Pikiran negatif
pun terus menghantui saya selama perjalanan pulang. Setibanya di rumah, saya
langsung meminta maaf kepada Ayah dan Ibu karena harus mengecewakannya lagi. Saya
mengurung diri di kamar, berdialog pada diri,
menenangkan pikiran agar bisa bangkit secepatnya. Sempat terlontar
sebuah pertanyaan durhaka dari ucapan saya, “Yaa Allah, ujian apa lagi ini? Apa
maksud semua ini, Yaa Rabb?”. Seusai sholat dzuhur, saya memilih untuk tidur
sebagai penghilang stress.
Saya terbangun kembali dan
segera melaksanakan sholat ashar. Ketika berwudhu, airnya seperti menyentuh
hingga ke relung jiwa. Menyadari betapa durhaka saya sebagai hamba. Saya pun
kembali larut dalam tangisan penyesalan. Takbiratul ihram, menggetarkan hati
saya. Saya sadar bahwa kuasa Allah sangatlah besar. Jika Allah berkehendak,
bukan perkara sulit untuk meloloskan saya (bahkan di pilihan pertama) dengan
nama masih tertera di lembar berita acara. Tiba di kalimat “wamahyaya wammamati lillahi rabbil’alamin”, tersentak lahir dan batin saya. Saya kalut, bahkan hingga
durhaka kepada Allah hanya karena kegagalan mencapai hal yang fana. Lupa diri
hingga tak terasa menjadi ambisius pada perkara duniawi. Sungguh sangat merugi,
jika Allah tak memperkenankan ampunanNya untuk saya. Dalam sujud paling
panjang, saya memohon ampunan dari Dzat yang Maha Pengampun, saya mengakui
kebesaran Allah dan mensyukuri segala nikmat yang telah diberikanNya, termasuk
nikmat kegagalan yang bertubi-tubi ini.
Saya masih memiliki
kesempatan terakhir menjadi mahasiswi PTN di jalur mandiri. Seleksi mandiri
diadakan beberapa hari setelah seleksi bersama. Selama beberapa hari itu, saya
belajar dengan sistem yang lebih santai. Bahkan sebagian besar waktu saya habis
untuk bermain games di laptop, mengelola bisnis-bisnis yang sempat terlantar
dan lebih banyak merayu keajaiban pada Tuhan penguasa alam semesta beserta
seluruh isinya. Hingga harinya pun tiba. Ayah berpesan agar saya tetap tenang
apapun yang terjadi. Alhamdulillah, seleksi berjalan lancar. Berjuta harapan
masih tergantung tinggi di langit. Senyum pun tak pernah lepas menghiasi hari.
Setelah seleksi mandiri, ada sedikit perasaan lapang yang sulit dijelaskan.
Bebas untuk sementara waktu. Saya pun bisa total menyiapkan diri untuk optimal
beribadah dan beraktivitas di bulan Ramadan.
Pada akhirnya bersama
tulisan ini, saya memutuskan untuk posponed dalam bidang akademik selama setahun.
Masih banyak hal yang belum saya tunaikan sehingga Allah mungkin belum memberi
saya jalan untuk menjadi mahasiswi PTN tahun ini. Setahun ini saya akan fokus
memperbaiki diri, mendekatkan diri pada Rabbul Izzati, birrul walidain, mempelajari materi
pelajaran dari dasarnya, mengembangkan bisnis-bisnis saya yang mulai tumbuh dan yang paling utama, saya ingin fokus mewujudkan
cita-cita saya sejak kecil, yaitu menjadi hafidzoh(*). Saya sangat mensyukuri kegagalan saya yang membukakan mata hati dan pikiran saya yang nyaris digelapkan oleh perkara dunia. Sungguh saya sangat bersyukur.
Inilah kisah dari rantaian kegagalan yang Allah
karuniakan kepada saya untuk menjadikan saya pribadi yang lebih baik, muslimah
yang lebih patuh pada perintahNya dan hamba yang mensyukuri nikmatNya. Sungguh,
saya menulis tulisan ini hanya untuk berbagi bahwa selalu ada hikmah dari
setiap kejadian. Allah menciptakan segala sesuatu dengan pasangannya, setelah
kesulitan pasti ada kemudahan. Hari ini mungkin gagal, esok boleh jadi sukses
luar biasa. Semoga Allah senantiasa menjaga niat saya dalam menulis, melindungi
saya dari penyakit riya dan sombong yang terkandung dari tulisan ini hingga
tulisan ini berada di hadapan pembaca sekalian.
Mohon maaf untuk kalimat yang kurang berkenan. Mohon do’anya
agar rencana-rencana saya akan berjalan dengan baik dan menghasilkan sebuah
kesuksesan yang hakiki. Mohon do’anya pula agar saya diberi keikhlasan dan
kelapangan hati dalam menerima apapun yang menjadi keputusan Allah sebagai
takdir saya. Terima kasih telah membaca tulisan ini hingga akhir. Berharap
Allah memberikan kelancaran pada setiap urusan kita, aamiin.
“You can't have any successes unless you can accept failure.”
-George Cukor
2 Ramadan 1435H
with love, @nabilawidodo
(*) The further story will be written soon.