Senin, 30 Juni 2014

Failure Leads Me Back To The Right Way


Beberapa waktu yang lalu, saya harus menelan getirnya kegagalan di jalur SNMPTN. Saya hanya mendapat kesempatan sekali seumur hidup untuk berhasil atau gagal melalui jalur ini, namun takdir mengharuskan saya gagal saat itu. Saya tidak terlahir sebagai seseorang yang ambisius dan berorientasi pada bidang akademik. Hal ini sangat membantu  ketika saya mengalami kegagalan seperti ini. Tapi, kegagalan menjadi luka bukan karena seseorang yang mengalaminya adalah ambisius. Bukan. Kegagalan akan menjadi luka yang sulit diobati ketika orang-orang yang disayangi pun harus merasakan kegagalan. Tak tergambarkan hancurnya hati saya melihat Ayah dan Ibu berusaha menghibur dan menyemangati saya, sedang kekecewaan tak dapat disembunyikan dari wajah teduh keduanya.

Beruntung, saya bukan tipe orang yang memikirkan kegagalan hingga berlarut-larut. Bagi saya, kegagalan hanya akan tetap menjadi kegagalan jika kita tak berusaha mengubahnya menjadi sebuah kesuksesan. Saya memberi waktu sehari kepada diri saya untuk menerima kegagalan dan belajar mengikhlaskannya.

Keesokan harinya, saya mulai merancang strategi untuk berhasil di jalur-jalur akhir menjadi mahasiswi PTN tahun ini. Saya mengejar ketertinggalan di lebih dari satu tempat bimbingan belajar, mengikuti beberapa program intensif. Hampir setiap hari, sejak teriknya mentari  hingga gelap dan dinginnya malam menyapa, saya memforsir tubuh dan pikiran. Setiap kali saya mulai merasa lelah, saya mengingat kembali ekspresi Ayah dan Ibu beberapa waktu lalu sehingga semangat belajar saya pun melesat luar biasa. Beberapa waktu, saya menghilangkan jenuh dengan berdiskusi bersama kakak-kakak kelas saya tentang bagaimana perjuangan mereka dulu ketika berada di posisi saya. Saya pun menyadari bahwa ikhtiar saya masih belum maksimal seperti mereka.

Selama proses itulah saya menemukan begitu banyak ibroh dari kegagalan saya. Melalui kegagalan, Allah memberikan saya banyak kesempatan yang mungkin akan terlewatkan begitu saja ketika saya secara cuma-cuma diberikan keberhasilan. Melalui kegagalan, saya bertemu dengan banyak sahabat-sahabat baru, guru-guru yang sangat menginspirasi dan kesempatan merasakan semangat belajar yang luar biasa. Saya pun akhirnya mensyukuri kegagalan saya. Saya tumbuh menjadi seorang manusia yang menikmati kegagalannya, menikmati skenario Allah untuk perjalanan hidup saya.

Hari ujian (SBMPTN) yang ditunggu akhirnya tiba. Saya sangat yakin bisa lolos seleksi ini, minimal di pilihan terakhir. Nervous. Allah kembali menguji pada titik terlemah saya. "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka belum diuji?" (QS Al-Ankabut:2). Ketika saya mulai mengisi identitas di lembar jawaban, alarm dari handphone saya berbunyi di dalam tas yang sudah saya simpan di depan ruang ujian. Saya segera mematikannya. Beberapa detik setelah saya duduk kembali, salah satu pengawas menghampiri saya. Saya diminta untuk menandatangani berita acara. Alhasil, selama ujian saya tidak bisa fokus dan kehilangan konsentrasi. Seingat saya, kalau nama sudah tertera di berita acara, maka sejurus kemudian habis sudah harapan untuk lolos ujian. Gagal sebelum berperang karena sebuah halangan yang seharusnya tidak menjadi halangan. Terbayang kembali wajah kecewa Ayah dan Ibu. Terbayang pula aktivitas ketika harus ‘menganggur’ selama setahun kemudian beserta komentar keluarga dan sahabat mengenai kegagalan saya yang terulang kembali. Saya kalut dan tak sanggup mengatur emosi. Mata perih dan akhirnya menghasilkan beberapa bulir air mata kekecewaan. Pikiran negatif pun terus menghantui saya selama perjalanan pulang. Setibanya di rumah, saya langsung meminta maaf kepada Ayah dan Ibu karena harus mengecewakannya lagi. Saya mengurung diri di kamar, berdialog pada diri,  menenangkan pikiran agar bisa bangkit secepatnya. Sempat terlontar sebuah pertanyaan durhaka dari ucapan saya, “Yaa Allah, ujian apa lagi ini? Apa maksud semua ini, Yaa Rabb?”. Seusai sholat dzuhur, saya memilih untuk tidur sebagai penghilang stress.

Saya terbangun kembali dan segera melaksanakan sholat ashar. Ketika berwudhu, airnya seperti menyentuh hingga ke relung jiwa. Menyadari betapa durhaka saya sebagai hamba. Saya pun kembali larut dalam tangisan penyesalan. Takbiratul ihram, menggetarkan hati saya. Saya sadar bahwa kuasa Allah sangatlah besar. Jika Allah berkehendak, bukan perkara sulit untuk meloloskan saya (bahkan di pilihan pertama) dengan nama masih tertera di lembar berita acara. Tiba di kalimat wamahyaya wammamati lillahi rabbil’alamin, tersentak lahir dan batin saya. Saya kalut, bahkan hingga durhaka kepada Allah hanya karena kegagalan mencapai hal yang fana. Lupa diri hingga tak terasa menjadi ambisius pada perkara duniawi. Sungguh sangat merugi, jika Allah tak memperkenankan ampunanNya untuk saya. Dalam sujud paling panjang, saya memohon ampunan dari Dzat yang Maha Pengampun, saya mengakui kebesaran Allah dan mensyukuri segala nikmat yang telah diberikanNya, termasuk nikmat kegagalan yang bertubi-tubi ini.

Saya masih memiliki kesempatan terakhir menjadi mahasiswi PTN di jalur mandiri. Seleksi mandiri diadakan beberapa hari setelah seleksi bersama. Selama beberapa hari itu, saya belajar dengan sistem yang lebih santai. Bahkan sebagian besar waktu saya habis untuk bermain games di laptop, mengelola bisnis-bisnis yang sempat terlantar dan lebih banyak merayu keajaiban pada Tuhan penguasa alam semesta beserta seluruh isinya. Hingga harinya pun tiba. Ayah berpesan agar saya tetap tenang apapun yang terjadi. Alhamdulillah, seleksi berjalan lancar. Berjuta harapan masih tergantung tinggi di langit. Senyum pun tak pernah lepas menghiasi hari. Setelah seleksi mandiri, ada sedikit perasaan lapang yang sulit dijelaskan. Bebas untuk sementara waktu. Saya pun bisa total menyiapkan diri untuk optimal beribadah dan beraktivitas di bulan Ramadan.

Pada akhirnya bersama tulisan ini, saya memutuskan untuk posponed dalam bidang akademik selama setahun. Masih banyak hal yang belum saya tunaikan sehingga Allah mungkin belum memberi saya jalan untuk menjadi mahasiswi PTN tahun ini. Setahun ini saya akan fokus memperbaiki diri, mendekatkan diri pada Rabbul Izzati, birrul walidain, mempelajari materi pelajaran dari dasarnya, mengembangkan bisnis-bisnis saya yang mulai tumbuh dan yang paling utama, saya ingin fokus mewujudkan cita-cita saya sejak kecil, yaitu menjadi hafidzoh(*). Saya sangat mensyukuri kegagalan saya yang membukakan mata hati dan pikiran saya yang nyaris digelapkan oleh perkara dunia. Sungguh saya sangat bersyukur.


Inilah kisah dari rantaian kegagalan yang Allah karuniakan kepada saya untuk menjadikan saya pribadi yang lebih baik, muslimah yang lebih patuh pada perintahNya dan hamba yang mensyukuri nikmatNya. Sungguh, saya menulis tulisan ini hanya untuk berbagi bahwa selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Allah menciptakan segala sesuatu dengan pasangannya, setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Hari ini mungkin gagal, esok boleh jadi sukses luar biasa. Semoga Allah senantiasa menjaga niat saya dalam menulis, melindungi saya dari penyakit riya dan sombong yang terkandung dari tulisan ini hingga tulisan ini berada di hadapan pembaca sekalian.

Mohon maaf untuk kalimat yang kurang berkenan. Mohon do’anya agar rencana-rencana saya akan berjalan dengan baik dan menghasilkan sebuah kesuksesan yang hakiki. Mohon do’anya pula agar saya diberi keikhlasan dan kelapangan hati dalam menerima apapun yang menjadi keputusan Allah sebagai takdir saya. Terima kasih telah membaca tulisan ini hingga akhir. Berharap Allah memberikan kelancaran pada setiap urusan kita, aamiin.


 “You can't have any successes unless you can accept failure.”

 -George Cukor


2 Ramadan 1435H
with love, @nabilawidodo

 (*) The further story will be written soon.